Habis Galau Terbitlah Move On
4 min read
Buku Habis Galau Terbitlah Move on, karya J. Sumardianta.
Judul Buku: Habis Galau Terbitlah Move On
Pengarang: J. Sumardianta
Penerbit: PT Bentang Pustaka
Tahun Terbit: 2014
Ukuran Dimensi Buku: 20 x 15 cm
Tebal Buku: Xxii + 330 halaman
Oleh: Vincent Fabian Thomas
Sekilas apabila Anda melirik buku karya Pak Guru (Sapaan J. Sumardianta), tentu Anda mendapati buku tersebut adalah sebuah novel. Tepatnya novel remaja yang tengah patah hati dirundung galau nestapa dan tekadnya untuk move on. Namun, tanpa disangka buku afiliasi non-fiksi itu justru bertema dunia pendidikan.
Berangkat dari tema itu, Pak Guru mengangkat kondisi dunia pendidikan yang tengah digempur zaman digital menjadi fokus utama buku ini. Ia pun menyebut zaman digital ditandai ketika orang lebih sengsara bila fakir sinyal ketimbang fakir miskin. Tujuan negara pun digubahnya menjadi “Mencerdaskan kehidupan media sosial, menyejahterahkan pemikiran fesbuker-tweper, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia maya.”
Judul “Habis Galau Terbitlah Move On” dipilih untuk mengisi cover buku tersebut. Meskipun dapat dimaknai sebagai plesetan “Habis Gelap Terbitlah Terang” milik R.A Kartini, pembahasaan yang populer dianggap perlu untuk menenggelamkan pembaca di kedalaman makna. Desan sampul pun juga sangat menarik dengan rupa desain interface aplikasi instagram berikut memplesetkan nama instagram menjadi “Asamgaram” dan wajah versi kartun Pak Guru sebagai foto yang tengah terpajang.
Judul “Habis Galau Terbitlah Move On” menggambarkan kontradiksi di dalam kehidupan Ia menyebut galau sebagai istilah yang mewakili perasaan pesimis nan temporer. Berbeda halnya dengan Move On, sebuah perasaan yang melambangkan optimisme melawan tirani penjajahan yang menghadirkan kegalauan.
Berangkat dari pengalamannya sebagai pendidik zaman digital, apa yang pernah ia tulis, lihat, dan amati dituangkan dengan menarik dalam buku ini. Hal itu terlihat ketika ia mengomentari kurikulum pendidikan yang dianggap membelenggu sekolah. Alhasil, sekolah begitu mendewakan kecerdasan kognitif otak dibanding menggali kebajikan-kebaijkan khas siswa.
Selain itu, perangkap kurikulum yang diboncengi Ujian Nasional (UN) disebut telah mengabaikan esensi pendidikan untuk membentuk orang menjadi lebih baik dan berprilaku terpuji. Akhirnya, siswa kerap dirundung stress dibanding kegairahan untuk menyelami bidang yang disukainya. Pendidikan yang seharusnya memaksimalkan aktivitas berpikir tingkat tinggi, hanya bertengger pada aktivitas otak yang paling primitif : menghafal. Bahkan, UN juga dianggapnya sebagai upaya standarisasi yang mengabaikan keunikan sifat dan kemampuan siswa.
Selain membahas pendidikan, Pak Guru juga meramu isi buku dengan pelajaran-pelajaran menarik dari tokoh-tokoh yang menginspirasi. Tokoh-tokoh itu di antaranya : Hasari Pal (Seorang penarik angkong India yang menjual kerangkanya dikala meninggal untuk membiayai pernikahan putrinya), Ram Chander (Seorang bekas petani India yang tidak mampu menghapus utang keluarganya, bekerja hingga akhir hayat sebagai penarik angkong untuk menafkahi keluarganya), Pak Kliwon (Penarik Becak asal Yogya yang rela menempuh 5 jam perjalanan pulang dengan becak untuk berhemat demi anak bisa bersekolah), dan Patmini (Seorang gadis kecil perkampungan kumuh d Kalkuta yang sehari-hari mengais sisa sayur dan kulit buah demi piring keluarganya).
Tokoh-tokoh itu bersama sejumlah tokoh lainnya mencerminkan nilai filantropis (sikap hidup bergelimang cinta) dan transendensi (cara berpikir melampaui hal-hal yang dilihat contohnya keterpurukan). Hal itu juga menjadi kritiknya terhadap orang-orang yang dirundung iri, dengki, dan sinis akibat budaya bertahan dalam hidup. “Hari-hari kerja penuh dengan kesan sibuk, patuh pada sistem yang membelenggu, mengelola birokrasi yang tidak waras, menjalankan kepatuhan keras sampai kentut harus ditunda. Kerja menjadi lubang hitam yang menyedot habis kesehatan.”
Tidak berhenti di situ, setiap isi bab juga dikemas dalam format yang enak dan nyaman dibaca. Ketika penulis pada umumnya terbiasa hanya memecah menjadi beberapa bab, Pak Guru memecahnya kembali menjadi beberapa subbab. Dengan pemecahan itu, buku menjadi lebih mudah dibaca terutama bagi pembaca awam dan yang tidak kuat membaca tulisan yang panjang-panjang. Setiap subbannya pun juga diracik dengan judul-judul menarik seperti “Menari Di Tengah Hujan” dan “Bukan Saatnya Bermodal Tutur dan Kapur” berikut dengan kutipan quotes dan anekdot yang mendekatkan pembaca dengan konteks subbab. Selain itu, pembaca juga akan dibuat kaya kosakata melalui penuturan Pak Guru yang unik, naratif, dan tersirat pesan universal sehingga dapat dibaca oleh pembaca berlatar belakang bidang apapun.
Bagi para pembaca yang belum menyentuh sekuel pertama “Guru Gokil Murid Unyu”, Anda tentu akan mendapati gaya penulisan yang terkesan melompat-lompat. Pembahasan seolah-olah kurang mendalam dan terlampau banyak topik yang dibahas. Alhasil menghadirkan kesan buku tersebut kurang tajam dibanding buku-buku self helping dan buku-buku yang membahas langsung teori, metode mengajar, atau bertemakan pendidikan.
Ala kadarnya, buku ini memang membahas seputar dunia pendidikan tepatnya di zaman digital. Namun, buku ini tidak terbatas pada kalangan akademisi (guru dan murid), tetapi sangat direkomendasikan juga untuk dinikmati oleh pembaca awam, awal, atau berasal dari bidang lain. Terkait dengan judul buku, penulis pun mengutip pesan Pak Guru, “Siapa pun pasti pernah dirundung galau. Siapa pun pasti pernah menghadapi jalan buntu. Sehebat-hebatnya orang sukses, tak lain mereka yang habis nyesek bisa move on.”
Tentang Penulis:
Penulis adalah mahasiswa Jurusan Teknik Industri angkatan 2014.