Media Parahyangan

Menulis Untuk Indonesia

May Day dan Separuh Long March: Sebuah Proyeksi Atas Perselisihan Sosialisme Dualitas

7 min read
https://www.berdikarionline.com/

https://www.berdikarionline.com/

Klaim atas kesetaraan dan penerimaan kelas sosial dalam dimensi kerja global sejak awal sudah diprakarsai di zaman Yunani kuno, tepatnya di era Plato (428-347 SM). Di abad ke-5, filosof Euhemeros dan Jambulos mulai memperkenalkan gagasan mengenai “negara matahari” yang menjabarkan tentang kepemilikan bersama, termasuk juga para istri. Alih-alih menganggap kepemilikan pribadi sebagai sumber masalah, sehingga hal itu dianggap sebagai sesuatu yang mengancam. Beranjak dari situ, cita-cita sosialis sejak awal juga pernah ditunggangi oleh kepengaruhan religius di mana anggapan untuk hidup menyatu dengan pencipta harus meninggalkan segala kepunyaan. Barulah di zaman pencerahan, hal ini berkembang ke ranah yang lebih diplomatis dengan kesetaraan hak berdagang di hadapan hukum, walaupun hanya terbatas pada kaum borjuasi. Secara garis besar, sosialisme sebelum era modern hanya melingkupi beberapa pakem yang dianggap tak menjangkau jantung kesetaraan secara substansial.

Zaman modern memunculkan pandangan ini dengan mendalam setelah dicetuskannya permulaan Revolusi Perancis pertama di tahun 1789-1795 dan Revolusi Industri di tahun 1848. Agenda awal pemikiran ini bermula ketika pandangan ketimpangan diletakkan lebih dominan terhadap kaum proletar atau pekerja, yang seringkali dimaknai dengan perpecahan golongan antara yang kaya dan miskin–sehingga para pemikir yang berkecimpung di zaman ini termasuk Marx dan Engels serta para filosof sezaman menjatuhkan klaim substansi kecacatan pada bidang ekonomi, dan kemudian berkembang menjadi apa yang disebut “komunisme”, sebuah manifestasi bayangan sosialisme dalam bentuk radikal (Suseno, 1999: 19).

Bicara tentang bayangan, korelasi serupa dirumuskan juga oleh Benedict Anderson dalam karyanya “Imagined Communities”. Ia berbicara mengenai hubungan pertalian yang terikat secara alam bawah sadar, yang kemudian berkembang menjadi tumpuan afinitas dalam memperjuangkan sesuatu, dan bukan hanya pada faktor genealogis saja. Inilah yang disebut sebagai “komunitas-komunitas terbayang”. Segala lapisan masyarakat yang dalam peringatan May Day secara langsung diafirmasi oleh katalog-katalog identitasnya, yang sejak dahulu selalu menjadi bab besar pertentangan antargolongan.

Awal Mula Gerakan

Gerakan buruh pertama kali muncul pada abad ke-19 di Amerika Serikat, ditandai oleh peristiwa di sebuah perusahaan pembuat sepatu bernama Cordwainers. Para pekerja diperas tenaganya dengan bekerja selama 19-20 jam per hari, sehingga muncul gerakan pertama yang menentangnya dari kaum buruh di tahun 1872 dengan pemogokan kerja oleh 100.000 pekerja. Agenda ini diprakarsai oleh dua orang utama melalui gagasan yang disampaikan mereka, yakni Peter McGuire dan Matthew Maguire. Oleh McGuire, gerakan semula disebar di jalanan melalui penyampaian ide kepada para pekerja dan pengangguran, serta meminta pemerintah kota untuk menyediakan lapangan pekerjaan bagi mereka.

Tahun 1881 adalah tahun di mana McGuire pindah ke St. Louis, Missouri, dan mulai mengorganisir para tukang kayu hingga terbentuklah persatuan yang terdiri dari para tukang kayu di Chicago. Ide ini kemudian menyebar luas ke seluruh wilayah manca negara dan secara sepakat menetapkan hari Senin pertama di bulan September sebagai Hari Kemerdekaan mereka.

Tepat satu tahun setelah McGuire pindah, demonstrasi pertama kali terjadi dalam skala yang lebih luas di seluruh wilayah Amerika Serikat saat itu dan diikuti sebanyak 20.000 massa. Saat itu tuntutan yang dilayangkan adalah tentang pembagian jam kerja sebanyak 8 jam kerja, 8 jam istirahat, dan 8 jam rekreasi. Empat tahun setelahnya, tepatnya di tanggal 1-4 Mei 1886, demonstrasi kedua terjadi lagi dan menimbulkan kekacauan urban serta memakan korban sebanyak ratusan orang melalui penembakan polisi serta penangkapan beberapa pemimpin demo. Peristiwa ini diikuti oleh massa sebanyak 400.000 buruh dan kemudian dikenal dengan sebutan Haymarket Affair, penanda lahirnya May Day yang kita peringati sekarang di setiap 1 Mei. Perayaan ini disepakati melalui Kongres Sosialis Dunia dengan agenda universal tuntutan 8 jam pembagian waktu kerja.

Di Indonesia sendiri, perayaan May Day sudah diperingati sejak tahun 1920 dengan demonstrasi dan penuntutan hak atas kesetaraan kerja. Sejak saat itu juga keadaan kaum buruh di Indonesia semakin diperhatikan dengan serius, ditandai dengan digantinya pleidoi Soekarno dari istilah Proletariat dengan istilah Marhaen. Soekarno memandang ini cocok karena melihat kondisi bangsa yang majemuk dengan segala kekayaan serta kebutuhannya berdasarkan kearifan ketimuran. Tak bisa dipungkiri bahwa sejak pra-kemerdekaan, kaum buruh telah mengalami ketimpangan yang besar akibat feodalisme. Kapitalisme hadir sebagai bentuk baru darinya, dan Soekarno sudah memandang ini sebagai sebuah problem yang akan  membengkak di kemudian hari. Kaum buruh harus memiliki tempatnya sendiri secara adil di setiap lapisan masyarakat Indonesia. Pancasila mencatat itu.

Pada masa kepemimpinan Orde Baru, Soeharto melarang perayaan May Day karena kerap dikaitkan dengan paham komunis yang berkembang di Indonesia (PKI). Walaupun pada masa itu tetap ada aksi-aksi tuntutan seputaran upah layak, upah lembur, cuti haid, dll, tetapi tidak mempunyai perkembangan dan intensitas yang masif seperti sebelum masa Orba. Barulah setelah Soeharto turun dan digantikan di masa kepemimpinan reformasi B. J. Habiebie, May Day kembali dirayakan dengan demonstrasi sebagaimana biasanya. Berkembang hingga masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhohono, di tahun 2013 baru ditetapkan 1 Mei sebagai hari libur nasional yang berjalan hingga saat ini.

Keadilan Sosial dan Tuntutan Sosialis

Pembagian kelas yang awal mula ditunggangi oleh perjalanan kapitalisme menciptakan ketegangan antara kesadaran dalam artian moral dan kesadaran dalam artian struktural hingga masa sekarang. Untuk yang pertama, seturut kehidupan yang hakiki dilandasi faktor alamiah untuk menciptakan hasrat menyejahterakan diri melalui pemenuhan-pemenuhan kebutuhan. Sederhananya, tenaga kerja ditukarkan dengan mata uang. Dan uang digunakan untuk membeli kebutuhan yang mampu mempertahankan kehidupan, seperti kebutuhan primer, sekunder, tersier, dll. Untuk yang kedua, kesadaran struktural sudah melingkupi kesadaran moral namun dalam situs organisasi yang lebih luas, yang menandai keberadaan seseorang di tengah kelompok sosialnya dalam berdinamika. Kesadaran struktural akan masif ditekankan setelah jangkauan produksi dalam sistem kerja menjadi sesak oleh pergantian tenaga kerja mesin. Di sini salah satu permasalahan muncul. Sejak masa revolusi industri pertama pada abad ke-18, perubahan yang terjadi secara perlahan mengganti posisi kendali manusia dalam bidang produksi. Bisa dilihat bahwa tenaga kerja buruh digeser dalam skala yang mengecil dan seringkali terbatas pada kerja-kerja konvensional, karena mayoritas peran yang tergantikan oleh mesin. Dalam situasi yang sama ini juga peran negara semakin ditegaskan, bagaimana ia menyikapi lubang-lubang tambal perekonomian kapitalistik dalam sistem digital dan demokrasi pluralis.

Indonesia sendiri sebagaimana diketahui memiliki identitasnya dalam keberpihakan kepada kaum buruh atau proletariat (Soekarno menggantinya dengan nama kaum Marhaen). Secara ideologi, Indonesia sangat memperhatikan kemajemukan bangsanya yang terkandung–melingkupi suku, budaya, adat, agama, bahasa, kebiasaan, demografi, kontur geofrafis, dll. Hal ini berarti peran buruh (marhaen) sangat diilhami sebagai paru-paru bangsa dengan semangat kerja yang merdeka dan perjuangan setara. Di masa sekarang, marhaenisme yang tercetus semakin memudar nilainya–menandakan demografi Indonesia yang terpolarisasi ke dalam struktur kelas tertentu–termasuk juga kesadaran akan penghisapan tenaga kerja atau eksploitasi buruh tanpa kesejahteraan yang setimpal sebagai buah dari produksi, sehingga sangat sensitif jika tak diberi perhatian yang khusus dalam perjalanannya.

Keseluruhan nilai dalam produksi komoditas ditentukan berdasarkan besar-kecilnya produksi yang berjalan dan menempatkan kaum buruh sebagai satu-satunya golongan yang berperan dalam perampungannya. Hal ini menciptakan jurang hitam bagi posisi kaum buruh dan selalu memiliki perbandingan yang terbalik dengan keadaan golongan para pemegang modal. Puncak dari ketidaksetaraan ini secara terang-terangan mengancam cita-cita sejarah bangsa sekaligus membuang plakat sosialisme dari sila ke-5 Pancasila.

Buruh Sebagai Gerakan Dualitas

Memasuki ruangan ini, peran kaum buruh semakin masif diharapkan sebagai penentu kesetaraan yang terjadi, di mana sebagai esensi perubahan sendiri yang bergerak dari realitas menuju kepada kesadaran tertentu, dilihat sebagai sebuah proses yang alami. Aksi demonstrasi dan penuntutan hak menjabarkan hal itu secara eksplisit.

Pergerakan kaum buruh hari ini semakin berkembang, tidak hanya seperti yang dijelaskan dalam sejarah juga dari akar masalahnya tentang hubungan kerja kapital (pemodal-pekerja), tetapi juga dari segi masalah global dan isu-isu politis sebagai bagian dari bentuk Kiri-Baru (1959 dalam majalah The New Left Review). Gerakan hari ini memandang bahwa kapitalisme tumbuh secara abstrak dan lebih canggih sehingga mulai diangkat juga seturut itu wacana-wacana terkait konteks perubahan kondisi struktur masyarakat, penerimaan nilai-nilai baru, dan hal-hal serupa seperti neoliberalisme, gender, HAM, demokrasi, kebijakan publik, dan lain-lain (Zuhdan, 2014: 227)–menilik dari perjalanan pemikiran yang mulanya berdasarkan pengkajian ulang tokoh-tokoh pasca Lenin sehingga untuk kemudian mampu dianggap relevan dengan fenomena di abad ke-20.

Gerakan buruh di Indonesia lebih tepat dipahami dengan konsep dualitas. Kata “dualitas”, dan bukan, “dualisme”, memiliki arti: ganda atau rangkap dua–tetapi tetap dalam pemaknaan satu-kesatuan yang utuh. Konsep ini berbicara tentang dua ranah perjuangan yang berbeda khususnya pada kaum buruh, di mana selain sebagai gerakan ekonomi, gerakan buruh juga harus dipandang sebagai kekuatan transformatif secara sosial dan politik (Rochadi, 2016). Menurutnya, kondisi ini tentu tak lepas dari sejarah lahirnya gerakan buruh, relasi yang khas antara buruh dan negara, serta pluralitas dan perkembangan industrialisasi.

Sejauh pandangan yang dipaparkan, gerakan buruh dalam dan atau /keluar dari May Day pertama-tama berangkat dari gerakan politis (kita harus mengakui itu), berdasarkan sejarahnya tentang perkembangan pemikiran gerakan sosial. Masalah yang terjadi di Indonesia adalah tidak semua kalangan buruh paham akan hal itu. Dari seluruh lapisan masyarakat, perwakilan suara dari partai buruh memegang peranan penting dalam edukasi dan perjuangan diplomatis jalur hukum untuk mempertahankan hak kerja, tetapi akan sangat kurang jika tak menjangkau lapisan kaum buruh secara keseluruhan. Yang paling menderita dalam situasi ini adalah mereka yang dalam kategori buruh kerja kasar, berbeda dengan buruh kantoran, dan lain-lain. Hal-hal ini yang menjadi landasan utama bahwa proses kesadaran harus mencakup kesadaran politis, dalam artian golongan yang disebutkan tadi, secara langsung mengambil bagian melalui gerakan May Day.

Setelah daripada itu, perwujudan tujuan kedua kaum buruh sebagai gerakan ekonomi adalah menilik dari cita-cita sosialisme yang dicetuskan Soekarno kepada bangsa Indonesia, bahwa keadilan harus diterapkan secara merata kepada seluruh rakyatnya. Rakyat yang dimaksud adalah kaum marhaen (proletariat) sebagai idealisasi kaum buruhnya Soekarno–sehingga upaya harus terus berjalan seturut tujuan yang pertama dilakukan. Sederhananya, keadaan buruh di Indonesia adalah perpanjangan tangan atas diplomasi politis untuk mempertahankan martabatnya dalam kerja-kerja industrial di tanah air. Sehingga dalam perkembangan dan tuntutan-tuntutan pada May Day, penolakan terhadap kebijakan yang menitikberatkan kaum buruh secara general harus diperhatikan dengan teliti. Fenomena ini menjadi satu pengingat penting bahwa gerakan di Indonesia tidak sepenuhnya dilandasi pemikiran luar, melainkan murni dalam mereformasi cara menghadapi ketidakadilan dengan sedemikian rupa kearifan bangsa. May Day sendiri sudah cukup menggarisbawahi hal itu.

DAFTAR PUSTAKA

Mutiarasari, Kanya Anindita. 2022. Apa Itu May Day? Ini Sejarah Peringatan Hari Buruh. Diakses pada 2 Mei 2023, dari https://news.detik.com/berita/d-6077460/apa-itu-may-day-ini-sejarah-peringatan-hari-buruh.

Rochadi, Sigit. 2016. Dualitas dalam Gerakan Buruh di Indonesia. SOSIOHUMANIKA: Jurnal Pendidikan Sains Sosial dan Kemanusiaan, 9(1), 89-104.

Suseno, Frans Magnis. 1999. PEMIKIRAN Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis Ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Zuhdan, Muhammad. 2014. Perjuangan Gerakan Buruh Tidak Sekedar Upah: Melacak Perkembangan Isu Gerakan Buruh di Indonesia Pasca Reformasi. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 3(17), 272-290.

================

Penulis : Joe Tonda

Editor : Muhamad Rizki Pirdaus

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *