Babak Baru Kebijakan Parkir, Masih Berharap kah Pada ‘Perwakilan Mahasiswa’?
5 min read
Babak baru dimulai, kebijakan parkir masih dalam tahap persiapan. Gelombang penolakan melalui gerakan dan aksi masih terus bergema. Ego antar golongan juga mewarnai kisah lahirnya kebijakan ini. Diskusi untuk menyatukan suara pun dilakukan. Pertanyaan selanjutnya, masih berharap kah kita pada ‘perwakilan mahasiswa’?
Tegang adalah kata yang cukup sempurna sebagai gambaran situasi pada Diskusi Mahasiswa untuk merespon kebijakan kampus ini. Berbagai elemen mahasiswa hadir untuk bersuara, dari ketua BEM sampai Kolektif Parahyangan Menggugat. Diskusi yang diselenggarakan pada Selasa (04/04) ini bertujuan untuk menyusun berbagai tuntutan yang akan dilayangkan ke pihak kampus.
“Kita ada disini, untuk mewakili seluruh mahasiswa yang keberatan atas kebijakan (parkir) ini. Mari kita rumuskan tuntutan yang tepat” Ujar Ketua BEM kepada forum.
Kejanggalan Demi Kejanggalan
Diskusi diawali dengan pembacaan ulang terhadap point-point temuan Senat Mahasiswa (SM) dengan para Stakeholder kebijakan parkiran. Dari 25 point, setidak-tidaknya ada 2 point besar yang menjadi perhatian. Pertama, kebijakan parkir yang seolah-olah tiba-tiba tanpa ada partisipasi mahasiswa. Kedua, tarif parkir yang membumbung tinggi.
Kejanggalan pembangunan ini setidaknya ada 2 hal. Pertama, menyangkut kebijakan pemberlakuan parkir bertarif. Kedua, menyangkut tarif parkir itu sendiri.
Saat ketua BEM dan ketua Senat selesai menjelaskan point-point temuan. Peserta forum menanyakan, siapakah pihak kampus yang otoritatif dalam merumuskan kebijakan ini? Lebih lanjut, menurutnya, menentukan siapa yang otoritatif ini menjadi dasar penting untuk menentukan langkah advokasi.
“Kita harus tahu dulu dong siapa dibalik kebijakan ini, artinya kita tahu kalau mau “nonjok”, kita tau harus “nonjok” siapa? Jangan sampai salah sasaran“ Ujar Ketua Media Parahyangan pada forum.
Sayangnya, forum tidak berhasil menetapkan secara jelas siapa yang otoritatif dalam pembuatan kebijakan ini.
“Yaa kita gak tahu siapa dibalik ini, yang jelas waktu audiensi ada dari pihak universitas, yayasan, dan jasa marga. Artinya, kita akan berdialog dengan mereka. Dan semua itu (pihak universitas, yayasan, dan jasa marga) saling tahu” Ujar Ketua BEM
Jauh sebelum forum ini terjadi, Tim Media Parahyangan pernah sempat mencoba mewawancarai pihak Biro Usaha dan Teknis (BUT) pada Jumat (17/03). Saat itu, Tim Media Parahyangan bertemu dengan Humas BUT. Sayangnya, ia tidak bisa memberikan banyak informasi karena ia pun belum diberitahu secara teknis tentang kebijakan ini. Menurutnya saat itu, hanya kepala BUT yang tahu secara pasti tentang kebijakan ini.
Kedua, terkait tarif parkir yang dipublikasikan.
Dalam pertemuan dengan SM, pihak Jasa Marga mengatakan bahwa tarif Rp 5000 untuk motor dan Rp 10.000 untuk mobil sudah mengacu pada peraturan. Tapi kemudian pertanyaanya adalah peraturan manakah itu?
“Coba lihat di Perwal Kota Bandung, disitu bilang maksimal harga adalah 3000 rupiah, ini kok malah 5000, jadi itu mengacu kemana?” Ujar Krayon, Salah satu mahasiswa yang hadir pada forum.
Merespon hal tersebut, SM meminta maaf karena tidak sempat mempertanyakan tarif itu ke pihak Jasa Marga pada pertemuan Jumat (17/03) lalu. Ia mewakili lembaganya pun menyayangkan kejadian tersebut.
Masih Panjangkah Nafas Perjuangan ?
Akankah suara-suara mahasiswa ini hanya menjadi riak-riak kecil di sungai yang nampak banyak tapi tidak berdampak apa-apa. Akankah para pembuat kebijakan hanya memandang ini sebagai sesuatu yang “biasa”, bak pepatah “anjing menggonggong kafilah berlalu.”
Tapi jauh sebelum melihat itu, benarkah mahasiswa peduli dengan isu ini?
Diskusi yang diinisiasi oleh BEM dan SM pada Selasa (04/04) tidak lebih dari 50 mahasiswa yang hadir. Hal ini jauh dibandingkan dengan ramainya postingan parahyangan menggugat yang mencapai 2000 likes dan suara aspirasi masuk yang ditampung oleh SM yang mencapai 1040 aspirasi. Jika ini terus berlanjut, mahasiswa tidak hanya kalah kekuatan, tetapi juga kalah pasukan.
Namun tampaknya BEM dan SM akan mendesak para Stakeholder untuk berdialog ulang dan menyampaikan hasil diskusi yang kemudian disusun menjadi sebuah tuntutan.
Sampai tulisan ini dimuat, BEM dan SM belum mengeluarkan rumusan tuntutan dari hasil diskusi.
Salah satu mahasiswa mempertanyakan apakah terbuka untuk publik atau hanya eksklusif untuk ‘perwakilan mahasiswa’?
Merespon pertanyaan tersebut Ketua BEM menyampaikan bahwa ia akan mengusahakan dialog diselenggarakan secara terbuka untuk umum. Namun, ia tidak dapat menjanjikan bahwa hal tersebut akan terwujud. Argumennya adalah “lebih baik ada diskusi dari pada tidak sama sekali, meskipun tertutup”
Mendengar pernyataan tersebut, sontak membuat mahasiswa yang hadir pada diskusi itu pun khawatir.
“Tawaran dari kami adalah, lakukan diskusi secara terbuka atau tidak sama sekali” ujar Krayon.
Diksi “kita akan memperjuangkan sebisa mungkin” tidak lantas membuat publik percaya begitu saja. Apalagi, internal Unpar menerapkan sistem “saran terbatas” berdasarkan AD/ART PM Unpar 2020 yang pada pokoknya mengatakan persatuan mahasiswa dapat memberikan saran dan masukan namun kebijakan sepenuhnya akan ditentukan oleh pihak kampus.
Ketidakpercayaan tersebut seolah diamini dengan sikap yang ditunjukan para ‘perwakilan mahasiswa’ pada saat gelar diskusi yang tidak menyiapkan data secara komprehensif sebelum menggelar diskusi.
Pasalnya, di depan forum, BEM dan SM hanya bermodalkan surat hasil pertemuan SM dengan Stakeholder pada Jumat (17/03) lalu . Artinya, 18 hari sejak pertemuan itu, tidaklah menjadi tenggang waktu yang cukup untuk mengumpulkan informasi oleh kedua lembaga ‘perwakilan mahasiswa’. Padahal, data-data seperti siapa dan berapa mahasiswa yang terdampak? Peraturan mana yang diacu oleh Jasa Marga untuk menentukan tarif parkir? Bagaimana kajian atas dampak yang terjadi terhadap masyarakat sekitar? dan bagaimana mekanisme-mekanisme yang terjadi di kampus lain yang menerapkan sistem parkir bertarif? Adalah hal yang menjadi turning point yang ideal untuk menentukan arah tuntutan.
Menanti Kiprah Kolektif Parahyangan Menggugat
Mengatakan sikap adalah hal yang penting. Tanpanya kita akan terambang dalam kedua sisi dan seolah mencari posisi “aman”. Demikian yang dilakukan oleh Kolektif Parahyangan Menggugat, mereka secara resmi menyatakan bahwa akan tetap mengawal isu ini sampai tuntutan mereka terpenuhi.
“Perjuangan masih belum usai, ketidakadilan masih terus terjadi di lingkungan Universitas Katolik Parahyangan, termasuk dalam kasus Parkiran. Keterlibatan mahasiswa dalam lingkup kebijakan kampus dirasa kurang dilibatkan. Secara jelas pihak Yayasan melanggar peraturan internal kampus mengenai pengambilan keputusan yaitu pada Pasal 3 Ayat (2) Anggaran Dasar Persatuan Mahasiswa Unpar 2020. Pasal 3 Anggaran Dasar Persatuan Mahasiswa Unpar 2020 PM 2020. ” ujar Iky, salah satu mahasiswa yang menjadi bagian dari Kolektif Parahyangan Menggugat pada Tim Media Parahyangan pada Rabu (05/04).
Lebih lanjut, Kolektif Parahyangan Menggugat menyayangkan sikap dan tindakan yang dilakukan oleh BEM, menurutnya, BEM tidak benar-benar memiliki sikap.
“kami rasa, BEM tidak berkompeten dalam melakukan advokasi, bahkan ia terkesan bermain aman. Itulah sebabnya kampus sewenang-wenang dalam membuat kebijakan. Tidak ada pressure group. Dalam konteks itu pula, maka kami berdiri disini” lanjutnya.
Sebagai penutup, ia bersama kawan-kawan kolektif akan membuka posko aduan serta bantuan bagi mahasiswa yang terdampak dengan kebijakan parkir.
“Kami rencana kedepannya, apabila pihak Universitas, yayasan, atau yang terhormat Perwakilan Mahasiswa tidak mendengarkan apa yang mahasiswa butuhkan, kami akan membuka posko aduan serta bantuan bagi mahasiswa yang memiliki masalah dengan kebijakan parkiran yang ditetapkan. Jika mereka-mereka yang memiliki jabatan tidak melakukan tugas mereka secara benar dan tidak berada di pihak Mahasiswa, maka kami ada disana daripada menunggu para manusia ‘Terhormat’ tersebut. Tunggu saja!” tutup Iky pada Tim Redaksi Media Parahyangan.
Penulis: Andrian Rizky Utomo dan Rariq Muhammad Ghani Ricky
Editor: Muhamad Rizki Pirdaus