Latar Belakang
Pada masa pandemi ini, mahasiswa sangat rentan mengalami Quarter Life Crisis. Tuntutan mahasiswa untuk segera memiliki peran orang dewasa atau mendapatkan pekerjaan. Hal tersebut membuat mahasiswa merasakan anxiety atau kekhawatiran yang berlebih dan insecure mengenai pengalaman dan kewajiban yang harus dimiliki, terutama di saat pandemi yang membatasi mobilitas mahasiswa serta mengharuskan mereka untuk melakukan pembelajaran daring. Istilah Quarter Life Crisis (QLC) merupakan suatu kondisi krisis diri yang dapat terjadi dimulai pada usia 18 tahun. Kendati demikian, pada umumnya QLC terjadi diantara usia 20 hingga 30 tahun. Orang yang berada dalam fase QLC akan mengalami kondisi krisis emosional yang melibatkan perasaan seperti merasa down, frustrasi, terjebak dalam kecemasan yang tidak berujung, tidak bahagia, bingung, ketakutan, dan merasa sulit untuk keluar dari emosi-emosi tersebut. Selain itu, orang yang berada dalam krisis ini seringkali kehilangan motivasi, merasa gagal, atau kehilangan rasa percaya diri. Dalam kondisi QLC ekstrim, mereka kehilangan makna hidup dan menarik diri dari pergaulan sehingga dapat menyebabkan depresi. Pada Bulan Mei 2020, SurveyMETER melakukan sebuah survei daring untuk mengetahui tingkat kecemasan dan depresi selama pandemi COVID-19. Pada survei yang dilakukan pada kelompok yang berusia 20 hingga 30 tahun tersebut, sebanyak 56% memiliki gangguan kecemasan umum dan sebesar 65,3% menunjukkan pola depresi. Fase peralihan dari remaja ke usia dewasa ini memang cukup sulit bagi sebagian orang karena munculnya berbagai masalah kehidupan seperti percintaan, karir, keluarga, dan masalah finansial. Reaksi yang muncul dalam memasuki usia dewasa dari masing-masing individu akan berbeda-beda. Tentunya, tidak semua individu mampu mengatasi tantangan pada tahap ini. Oleh karena itu, quarter life crisis atau QLC adalah periode pencarian jati diri seseorang karena krisis emosional yang terjadi mungkin menimbulkan pertanyaan atas apa yang seharusnya dilakukan, terutama oleh mahasiswa yang merasa seperti salah mengambil langkah atau merasa kurang berpengalaman untuk mendapatkan pekerjaan. Robbins & Wilner (2001) pertama kali memperkenalkan konsep quarter life crisis dari sebuah judul buku ‘Quarter Life Crisis: The Unique Challenges of Life in Your Twenties’, yang menjelaskan tentang kesengsaraan yang dihadapi individu ketika mereka membuat pilihan tentang karir, keuangan, hidup dan hubungan relasi dengan orang lain. Robbins dan Wilner (2001) menggambarkan periode setelah kelulusan perguruan tinggi atau universitas sebagai periode yang tidak tenang, stres dan memicu kecemasan, yang dapat menyebabkan perasaan ragu-ragu, tidak berdaya dan panik. Depresi dapat dengan mudah terjadi karena identitas dan perasaan individu berfluktuasi secara nyata sebagai respon terhadap tantangan konstan hadir di kehidupan. Selain tuntutan diri sendiri, QLC adalah sebuah fenomena yang juga muncul berdasarkan faktor lingkungan. Misalnya, individu memiliki banyak tujuan yang belum bisa terwujud dan keluarga seorang individu sering membandingkan hasilnya dengan orang lain. Hal ini dapat menimbulkan keraguan terhadap diri individu itu sendiri, merasa khawatir, dan sulit untuk mengambil keputusan berdasarkan realita.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menginformasikan pembaca mengenai adanya fenomena Quarter Life Crisis (QLC) di kalangan mahasiswa yang seringkali tidak disadari serta dampak dan penyebabnya. Selain itu, penulis berharap dapat meningkatkan kesadaran mengenai QLC yang dialami oleh usia-usia dewasa muda dan dapat memberi pengarahan bagaimana cara untuk menanggulanginya.
Metode Penelitian
Penulis menggunakan studi literatur sebagai metode pertama untuk penelitian yang meliputi beberapa jurnal serta artikel media yang memuat pembahasan mengenai Quarter Life Crisis (QLC). Selain studi literatur, penulis menggunakan metode Focus Group Discussion (FGD) untuk mendapatkan data kualitatif. FGD merupakan salah satu metode untuk penelitian sosial yang terdiri dari diskusi kelompok, bukan individual dan terfokus (Wahyuni, 2014). Menurut beberapa literatur tentang FGD (seperti Sawson, Manderson & Tallo, 1993; Irwanto, 2006; dan Morgan D.L, 1998) jumlah yang ideal untuk FGD adalah 7 -11 orang (dikutip dalam Wahyuni, 2014).
Korelasi antara Emerging Adulthood dan Quarter Life Crisis (QLC)
Untuk memahami QLC, penulis memaparkan adanya korelasi antara QLC dengan tahap perkembangan individu yang disebut dengan emerging adulthood. Teori emerging adulthood ini dicetuskan oleh Jeffrey Arnett. Ciri utama dari emerging adulthood adalah periode kehidupan untuk eksplorasi identitas di bidang cinta, pekerjaan, dan individu dan dunia (Arnett, 2000). Menurut Arnett (2000), pembentukan identitas yang paling dominan terjadi di usia 18 hingga 25 tahun. Terdapat lima karakteristik emerging adulthood, dalam hal ini karakteristik yang pertama adalah masa eksplorasi identitas (age of exploration); kedua, yaitu masa instabilitas (age of instability) dengan berbagai perubahan seperti percintaan, pendidikan, atau tempat tinggal; ketiga, perasaan berada di antara sadar akan tanggung jawab tetapi belum sepenuhnya merasa seperti orang dewasa (age of feeling in between); keempat adalah masa dimana individu fokus pada diri sendiri untuk menentukan pilihan (age of self-focus); kelima, karakteristik terakhir merupakan masa dengan penuh kemungkinan (age of possibilities), individu merasa optimis dan merasa memiliki kesempatan untuk memulai kehidupan yang lebih baik (Munsey, 2006). Fokus utama individu yang berada pada masa emerging adulthood adalah persiapan untuk peran orang dewasa dan mengeksplorasi diri di usia 20 tahunan untuk pekerjaan masa depan (Arnett, 2000).
Kerangka pemikiran lainnya dalam memahami fenomena ini adalah tipologi menurut Profesor Oliver Robinson yaitu locked-out crisis dan locked-in crisis. Untuk QLC dalam bentuk locked-out crisis, individu umumnya di rentang usia 21-25 tahun kesulitan dalam merealisasikan peran yang diinginkan dalam kehidupannya di usia dewasa dan menginginkan kemajuan dari emerging adulthood, tetapi di saat yang sama peran yang dimiliki masih ambigu, terdapat semacam pemisah antara mereka dan kehidupan dewasa, namun tidak ada solusi untuk mengatasi hal tersebut (Robinson, 2016). Sementara itu, QLC dalam bentuk locked-in adalah ketika individu di usia 25-35 tahun telah membuat sebuah komitmen tetapi tidak lagi menginginkannya sehingga akhirnya merasa terjebak (Robinson, 2016). Dalam kasus ini, mahasiswa yang didominasi usia 20an lebih rentan mengalami QLC dalam bentuk locked-out crisis. Model holistik QLC atau Holistic Model of Quarter Life Crisis yang dikembangkan oleh Robinson (2016a; 2016b) menghubungkan episode krisis yang dapat dimulai pada rentang usia 20-29 dengan tahap emerging adulthood, seperti yang dijelaskan oleh Arnett (2002) (dikutip dalam Robinson 2018).
Bentuk atau kondisi Locked-out dalam QLC dibagi dalam empat fase. Menurut Robinson (2016), fase (1) individu berada dalam periode optimis, keterlibatan aktif dengan tujuan untuk memiliki peran sosial, tetapi di saat yang sama tahap tersebut merupakan awal sebelum memasuki fase frustasi dan kekecewaan; fase (2) yaitu proses melalui kegagalan yang berulang untuk mencapai tujuan atau hubungan dan perasaan adanya sebuah penghalang sehingga ekspektasi pun tidak tercapai, sehingga dapat timbul perasaan tertekan (depression) karenanya atau kekhawatiran berlebih (anxiety); fase (3) adalah jeda dalam aktivitas di mana individu merefleksikan kondisi yang dialaminya untuk mencari solusi atau alternatif dari masalah-masalah yang dihadapi; fase (4) yaitu solusi dan strategi dari masalah yang individu hadapi, individu tersebut cenderung untuk berkompromi tentang apa yang dapat diraih secara nyata dan mulai menyusun ulang tujuannya (dikutip dalam Robinson, 2018). Robinson (2018) mengatakan bahwa kondisi Locked-out ini diakhiri dengan individu dapat bergerak maju dari kondisi yang dihadapi menuju kondisi yang lebih stabil yang mungkin individu tidak pikirkan sebelumnya pada saat individu memasuki kondisi Locked-out dalam QLC ini.
Teknologi dan Quarter Life Crisis
Penulis melihat bahwa ada faktor lain saat ini yang mempengaruhi kesehatan mental sehingga dapat mempercepat fase QLC di usia muda yaitu kemajuan teknologi. Media sosial dan jejaring sosial sebagai teknologi berbasis komputer memiliki dampak negatif terutama di masa pandemi ketika para penggunanya terisolasi. Perbedaan keduanya merupakan pada media yang dipakai dan konten yang dibuat. Media sosial adalah media interaksi daring yang meliputi blog, forum, aplikasi untuk mengobrol, sedangkan jejaring sosial mengacu pada situs yang ditujukan sebagai tempat berkumpul banyak orang tanpa ada batasan, memiliki sebuah ikatan seperti keluarga, teman atau rekan bisnis (Susanto, 2014). Media sosial seringkali menjadi wadah untuk membandingkan diri sendiri dengan pencapaian orang lain. Misalnya, unggahan foto orang lain yang sedang jalan-jalan ke suatu tempat atau foto memamerkan kisah percintaan atau pencapaiannya, sedangkan individu yang melihat merasa biasa saja dan belum melakukan hal yang dianggap berguna. Perasaan ini akan menumbuhkan kekhawatiran akan masa depan, apalagi pada saat pandemi, mahasiswa akan lebih sering membuka media sosial, saat waktu luang ataupun saat berada di dalam kelas daring. Studi du Plessis (2019) menunjukan adanya tekanan dan stres pada mahasiswa yang melakukan pembelajaran jarak jauh atau daring ini menjadi terasa lebih berat sehingga mahasiswa berusaha untuk menangani stress, salah satunya adalah terlibat dalam penggunaan media sosial (dikutip dalam Rahardjo et al. 2021). Media sosial yang umumnya dioperasikan melalui ponsel pintar (smartphone) seharusnya dapat dikendalikan oleh manusia dan memiliki batasan, namun jika batasan itu tidak ada, maka manusia akan dikendalikan oleh media sosial itu sendiri. Dengan tingginya intensitas penggunaan platform digital termasuk media sosial dan jejaring sosial, pengguna akan mendapatkan yang disebut social media fatigue. Dikutip dalam Rahardjo et al. (2021), Individu yang mengalami social media fatigue akan merasa lelah, kesal, marah, kecewa, kehilangan motivasi atau minat akibat konten yang dilihatnya dalam media sosial (Bright, Kleiser, & Grau, 2015; Ravindran, Kuan, & Lian, 2014). Social media fatigue juga diklaim berkaitan erat dengan invasion of life. Menurut Gaudiso et al.(2017), invasion of life merupakan persepsi individu bahwa kehidupan pribadinya telah terusik oleh penggunaan media sosial (dikutip dalam Rahardjo et al. 2021). Hasil penelitian sebelumnya dengan partisipan yang terdiri dari mahasiswa di Jabodetabek dan beberapa kota besar lainnya di pulau Jawa menunjukkan bahwa social media fatigue memiliki korelasi positif dengan adanya neurotisisme, kelebihan informasi, invasion of life dan kecemasan yang dialami oleh partisipan (Rahardjo et al. 2021).
Dampak Quarter Life Crisis
Quarter Life Crisis (QLC) dapat dipicu oleh beberapa hal yang pada umumnya dialami oleh usia muda. Hal-hal yang dapat memicu QLC diantaranya pencarian pekerjaan atau perencanaan karir, hidup sendiri, menentukan hubungan, dan membuat keputusan jangka panjang (Bradley University, n.d.). Tak hanya itu, kesadaran tidak memiliki tujuan, tekanan, dan banyaknya pilihan dapat memicu adanya krisis (Kirnandita, 2019). Menurut Psikolog Klinis Fakultas Psikologi Azri Agustin di Universitas Gadjah Mada (UGM), quarter life akan menjadi krisis jika terdapat ketimpangan antara tuntutan tugas dengan kemampuan diri untuk mengatasinya, sehingga jika terus menerus terjadi dapat menjadi gangguan kesehatan mental (Satria, 2021). Salah satu gangguan kesehatan mental yang dapat terjadi akibat QLC yang kian memburuk adalah anxiety atau kecemasan berlebih. Menurut Azri Agustin, individu yang sudah berada di tahap anxiety akan merasa khawatir terhadap hal-hal yang dianggap menjadi sumber ancaman sehingga timbul kewaspadaan berlebih, penurunan konsentrasi dan ketegangan motorik seperti perasaan tegang, tidak nyaman, gelisah, serta detak jantung meningkat (Satria, 2021).
Walaupun demikian, dampak dari Quarter Life Crisis ini tidak sepenuhnya negatif. Menurut First Direct bersama dengan Dr. Oliver Robinson menuliskan bahwa masa QLC ini dapat diubah menjadi Quarter Life Catalyst apabila dapat melihatnya sebagai sebuah pesan individu yang mengalaminya untuk mulai mencoba hal baru dan mengubah masa depan ke arah yang lebih baik. Dengan melakukan ini ada beberapa hal yang mengubah kehidupan individu tersebut seperti dengan melihat keadaan krisisi sebagai kesempatan untuk menelusuri kembali hal yang hilang dengan cara mencoba hal-hal baru, membantu untuk mengenal diri sendiri, mengetahui hal yang baik dan buruk juga apa yang disukai dan kurang suka (First Bank dan Robinson, 2017). Tak hanya itu, dampak positif QLC lainnya adalah dapat membantu individu untuk menambah perspektif dalam hidup bersamaan dengan apa yang bisa dilakukan sehingga dari situ rasa percaya diri akan bertumbuh dan berkembang, membawa pengalaman positif dengan terlibat dalam aktivitas yang menantang, produktif serta membuka pikiran untuk dapat lebih kritis dalam memecahkan masalah (First Bank dan Robinson, 2017).
Hasil Penelitian
Focus Group Discussion (FGD) ditujukan untuk mendapatkan informasi terkait QLC serta melihat relevansinya dengan pandemi yang mempengaruhi kehidupan mahasiswa saat ini. Partisipan FGD merupakan mahasiswa UNPAR dari berbagai jurusan mulai dari angkatan 2018 hingga angkatan 2020. Partisipan terdiri dari laki-laki dan perempuan di rentang usia 19 hingga 21 tahun. Data kualitatif yang diharapkan dapat diperoleh melalui hasil FGD untuk mengetahui adanya indikasi QLC, meliputi:
- Pengetahuan partisipan tentang Quarter Life Crisis
- Perasaan partisipan akan ketidakpastian di tengah pandemi
- Perasaan partisipan tentang tujuan dan langkah di masa yang akan datang
- Perasaan partisipan mengenai pencapaian masing-masing dan orang lain di sekitarnya
- Perasaan partisipan ketika membuka jejaring sosial
- Kehidupan pertemanan dan krisis hubungan yang dimiliki partisipan
- Motivasi untuk memulai sesuatu yang baru
- Sinkronisitas antara kehidupan ideal, passion dan realita yang dialami partisipan
Jumlah Partisipan | Angkatan | Usia | Jenis Kelamin |
2 | 2018 | 21 | Laki-laki |
1 | 2019 | 20 | Laki-laki |
3 | 2019 | 20 | Perempuan |
1 | 2020 | 19 | Perempuan |
Hasil FGD menunjukan bahwa semua peserta FGD memiliki pengetahuan secara umum mengenai QLC. Mereka menyoroti bahwa QLC berkaitan erat dengan kebingungan, kegalauan dan masa transisi menuju dewasa. Sebanyak 6 dari 7 partisipan mengatakan bahwa mereka mengalami kebingungan untuk menentukan masa depan, khususnya karir setelah lulus dari perguruan tinggi. Sementara itu, 1 partisipan lainnya mengaku bahwa ia merasa terjebak karena pandemi. Sebanyak 7 atau semua partisipan merasa belum memiliki pencapaian dalam hidup. Hal ini mengindikasikan adanya perilaku mawas diri dan membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Sebanyak 4 dari 7 partisipan mengakui bahwa mereka merasa insecure, dalam hal ini mereka merasa rendah diri karena pencapaian orang lain. Ketika berbicara tentang hubungan pertemanan disaat pandemi, semua partisipan setuju bahwa mereka sulit untuk memperluas lingkaran pertemanan. Walaupun demikian, hanya 3 dari 7 mahasiswa yang mengaku bahwa mereka mengalami krisis hubungan dengan orang sekitarnya di awal pandemi. Selain itu, ketika diajukan pertanyaan untuk memulai hobi baru, 6 dari 7 partisipan masih memilih untuk menekuni hobi yang lama karena berbagai alasan, sementera 1 partisipan lainnya mengaku ada keterbatasan sumber daya. Diskusi mengenai pilihan untuk menekuni hobi baru ditujukan untuk mengidentifikasi adanya motivasi yang dimiliki partisipan yang ternyata masih kurang untuk memulai sesuatu yang baru dan kemungkinan besar masih merasa betah berada di zona nyaman. Ketika berdiskusi soal tindakan membandingkan diri sendiri dengan orang lain, semua partisipan mengatakan bahwa mereka sudah mulai membandingan diri sendiri dengan pencapaian orang lain jauh sejak sebelum pandemi. Tetapi, di masa pandemi ketika merasa terisolasi, partisipan menunjukan adanya respon soal perasaan mereka terhadap pencapaian orang lain. Hasilnya, 4 dari 7 partisipan mengatakan bahwa mereka melihat orang lain selangkah lebih maju. Persepsi ini mereka dapatkan melalui media sosial, sehingga akhirnya timbul dorongan mulai dari melakukan introspeksi diri hingga timbul perasaan kurang percaya diri. Tak hanya itu, ketika berdiskusi mengenai perasaan partisipan mengenai jejaring sosial Linkedin yang ditujukan untuk membangun jaringan profesional, 2 dari 7 partisipan merasa bahwa Linkedin dapat memicu kurangnya rasa percaya diri, 3 dari 7 orang tidak memiliki akun Linkedin, dan 2 orang lainnya merasa bahwa Linkedin dapat memotivasi mereka. Dalam diskusi mengenai realita dan kehidupan ideal, semua partisipan mengakui bahwa mereka sering membayangkan kehidupan ideal menurut versi mereka yang saat ini belum didapatkan. Selanjutnya, ketika berdiskusi mengenai passion dan realita, 3 dari 7 partisipan mengatakan mereka mengalami dilema antara memilih passion atau keinginan dan realita yang belum tentu dapat mendukung passion masing-masing, sementara 2 dari 7 partisipan lainnya mengaku belum memiliki passion yang jelas dan 2 partisipan lainnya mengaku tidak terlalu berharap akan realita untuk sinkron dengan passion.
Dari 7 partisipan, 2 orang yang berusia 20 tahun mengklaim bahwa mereka dalam fase QLC, sementara lima peserta lainnya mengaku belum memasuki fase krisis tersebut. Berdasarkan teori perkembangan individu yang disebut dengan emerging adulthood, semua partisipan dapat dikatakan berada dalam periode emerging adulthood. FGD yang dilakukan pada 7 partisipan menunjukan adanya eksplorasi identitas, instabilitas karena berbagai perubahan akibat pandemi yang berdampak pada kehidupan mereka, perasaan berada di antara sadar akan tanggung jawab tetapi belum sepenuhnya merasa seperti orang dewasa karena masih berada di zona nyaman, serta perilaku fokus pada diri sendiri untuk menentukan pilihan sehingga timbul kebingungan untuk menentukan masa depan. Selain itu, perasaan partisipan mengenai kesempatan untuk memulai kehidupan yang lebih baik terlihat dari perilaku membayangkan kehidupan ideal yang belum didapatkan saat ini. Perilaku membayangkan kehidupan ideal dapat menghasilkan sebuah visualisasi yang dianggap sebagai benih dalam pikiran yang dapat menghasilkan tindakan untuk mewujudkan tujuan dan impian, tentunya dengan mengerahkan waktu serta upaya yang konsisten (Fakhry, 2018).
Hasil observasi selama diskusi antara 7 partisipan dalam FGD menunjukan adanya kesamaan yang dimiliki semua partisipan. Kesamaan tersebut yakni respon pada pertanyaan yang meliputi perasaan bingung, memiliki perasaan terjebak saat pandemi akibat mobilitas yang dibatasi, adanya tekanan dari lingkungan sekitar dan belum adanya tujuan pasti setelah lulus dari universitas. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, ambiguitas tujuan dan tekanan dapat menjadi faktor pemicu terjadinya krisis. Oleh sebab itu, semua partisipan dalam periode emerging adulthood dapat dikategorikan sebagai kelompok yang rentan mengalami QLC. Bentuk yang umum ditemui di partisipan adalah kebingungan, overthinking atau kecenderungan memikirkan sesuatu tanpa henti dan perasaan khawatir akan masa depan terutama di masa pandemi.
Jika dianalisis menggunakan Holistic Model of Quarter Life Crisis, tidak semua partisipan mengalami krisis dan bagi partisipan yang dikategorikan mengalami QLC tidak berada dalam fase yang sama. Dari hasil observasi menggunakan Holistic Model of Quarter Life Crisis milik Robinson, penulis mengambil kesimpulan bahwa 4 dari 7 partisipan masuk dalam kategori QLC dalam bentuk locked-out crisis. Sebanyak 2 dari 4 partisipan yang masuk ke dalam kategori ini berada pada fase 1. Dalam fase ini, partisipan masih terlihat optimis dan memiliki keinginan untuk terlibat dalam peran sosial. Sementara itu, 1 dari 4 partisipan lainnya berada pada fase 2. Terdapat indikasi pengalaman akan kegagalan baik untuk mencapai tujuan atau hubungan dengan teman sebaya. Selain itu, partisipan dalam tahap 2 ini menunjukan adanya perasaan tertekan akibat ekspektasi yang tidak sesuai. Hasil observasi lainnya menunjukan 1 dari 4 partisipan yang masuk ke dalam kategori QLC dalam bentuk locked-out crisis berada pada fase 3. Partisipan tersebut di samping memiliki perasaan khawatir, terjebak secara fisik, memiliki keraguan, dan kurang percaya diri, responnya menunjukan bahwa tekanan yang dirasakan sudah mulai berkurang, serta adanya perilaku kompromi antara partisipan tersebut dengan keadaannya.
Upaya untuk menanggulangi Quarter Life Crisis
Salah satu upaya yang bisa dilakukan agar lebih siap dan bisa beradaptasi di dalam menghadapi masa QLC tersebut adalah dengan melibatkan orang tua atau orang terdekat. Hal ini dikarenakan orang tua adalah lingkungan terdekat anak yang bertugas dan bertanggung jawab atas fungsi-fungsi psikologis, pendidikan, sosial-ekonomi, dan religiusitas selama anak berada di dalam pengasuhannya. Religiusitas atau praktik spiritual juga dapat berperan dalam upaya untuk menanggulangi krisis. Koenig dan Larson (2001) berpendapat bahwa kebahagiaan, emosi positif, kepuasan akan kehidupan serta moral yang lebih baik dapat diperoleh dengan meningkatkan keyakinan dan praktik di dalam beragama. Dikutip dalam Herawati dan Hidayat, (2020), upaya mengatasi krisis juga dapat dilakukan dengan cara menyibukan diri dengan kegiatan baru (Basis, 2014), meningkatkan resiliensi diri (Balzarie & Nawangsih, 2019) dan mempelajari keahlian baru (Stapleton, 2012). Dalam hal QLC, diharapkan psikologi positif dapat muncul dan membantu individu untuk melewati krisis dan menentukan pilihan dengan baik. Seligman (2002) sebagai Father Of Positive Psychology memberikan gambaran individu yang mendapatkan kebahagiaan autentik atau sejati, yaitu individu yang dapat mengidentifikasi dan melatih kekuatan yang dimilikinya yang ia gunakan di kehidupan sehari-hari. Selain itu, Seligman juga mengatakan setidaknya terdapat beberapa aspek utama yang dapat menjadi sumber kebahagiaan sejati, dan bisa diterapkan jika ingin melewatinya proses QLC dengan baik, yaitu dengan cara menjalin hubungan baik dengan orang lain; menemukan makna dalam kesehariannya; optimis, namun tetap realistis; menjadi pribadi yang mampu bangkit dari masalah (2002).
A. Kesimpulan
Quarter life crisis adalah periode pencarian jati diri seseorang karena krisis emosional yang terjadi dapat menimbulkan perasaan bingung, frustasi, terjebak dalam kecemasan, dan tidak percaya diri. Walaupun demikian, QLC juga memiliki dampak positif, seperti dapat membuka pikiran untuk dapat berpikir terbuka dan kritis dalam memecahkan masalah. Salah satu penyebab krisis yang muncul pada dewasa muda adalah kemudahan teknologi dalam mengakses kehidupan dan informasi seseorang di media sosial dan jejaring sosial, terutama saat pandemi ketika mahasiswa merasa terisolasi akhirnya memilih untuk menghabiskan waktunya di dunia maya. Hal ini yang menyebabkan individu tersebut sering tidak percaya diri dan cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain. Dalam penelitian yang dilakukan penulis melalui Focus Group Discussion, berdasarkan teori perkembangan individu, semua partisipan dapat dikatakan berada dalam periode emerging adulthood atau periode eksplorasi identitas di berbagai aspek kehidupan mahasiswa. Sementara itu, semua mahasiswa yang masuk dalam kategori QLC berada dalam bentuk QLC locked-out crisis di tahap yang berbeda-beda. Ciri-ciri dominan yang mereka alami yaitu perasaan bingung, terjebak, belum mengetahui tujuan pasca perguruan tinggi, perasaan tertekan akibat lingkungan sekitar dan khawatir akan masa depan. Upaya yang dapat dilakukan untuk menanggulangi QLC diantaranya dengan melibatkan orang terdekat, menyibukan diri dengan kegiatan positif, meningkatkan resiliensi terhadap tantangan yang ada, salah satunya dapat dilakukan dengan mempelajari keterampilan baru. Selain itu, berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, peran religiusitas dapat menghasilkan emosi serta perilaku yang positif sehingga praktik keagamaan dapat menjadi salah satu solusi untuk menangani QLC.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dari data-data di lapangan, pada dasarnya penelitian ini berjalan baik. Namun bukan suatu kekeliruan apabila peneliti ingin mengemukakan beberapa saran dan berharap dapat bermanfaat bagi kemajuan riset mengenai QLC. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang pengaruh QLC terhadap dewasa muda setiap tahunnya, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut karena saat ini pembahasan mengenai QLC masih terbatas. Eksplorasi yang lebih dalam terhadap emosi partisipan dalam metode FGD juga dibutuhkan untuk mendapatkan data kualitatif yang objektif. Terakhir, diperlukan penelitian lebih lanjut dan lebih spesifik mengenai korelasi antara teknologi dengan cepatnya proses QLC pada usia dewasa muda.
Penulis : Dyah R, Edric F, Fasya NS
Editor : Hanna F, Ilmor SM
Daftar Pustaka
Azmi, N. (2019, 28 Juni). Tanda Anda Sedang Dalam Quarter Life Crisis dan Cara Bijak Menghadapinya. Hello Sehat.
https://hellosehat.com/mental/gangguan-kecemasan/quarter-life-crisis-adalah/
Arnett J. J. (2000). Emerging adulthood. A theory of development from the late teens through the twenties. The American psychologist, 55(5), 469–480.
Agarwal, S., Guntuku, S. C., Robinson, O. C., Dunn, A., & Ungar, L. H. (2020). Examining the Phenomenon of Quarter-Life Crisis Through Artificial Intelligence and the Language of Twitter. Frontiers in psychology, 11, 341. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2020.00341
Bantennews. (2021, 22 April). Cara Efektif Melalui Krisis Identitas Saat Usia Pra Dewasa. BantenNews.co.id -Berita Banten Hari Ini. https://www.bantennews.co.id/cara-efektif-melalui-krisis-identitas-saat-usia-pra-dewasa/
Fakhry, T. (2018, 10 Juni). Why You Should Make It A Habit To Visualise Your Ideal Future. Medium. https://medium.com/the-mission/why-you-should-make-it-a-habit-to-visualise-your-ideal-future-a96e72654d51
First Direct Bank, Robinson Oliver. (2017). “How to turn your quarter-life crisis into quarter-life catalyst”, First Direct Undercovered Press Releases and University of Greenwich, pg. 6
Herawati, I., & Hidayat, A. (2020). Quarter Life Crisis Pada Masa Dewasa Awal di Pekanbaru. Journal An-Nafs: Kajian Penelitian Psikologi, 5(2), 154. https://doi.org/10.33367/psi.v5i2.1036
Johnson, J. (2020, 25 Februari). Negative effects of technology: What to know. Medicalnews. https://www.medicalnewstoday.com/articles/negative-effects-of-technology#psychological-effects
Khasanah, E. (2021, 24 Juni). HP “Jadul” dan Krisis Seperempat Abad. detiknews. https://www.google.co.id/amp/s/news.detik.com/kolom/d-5618161/hp-jadul-dan-krisis-seperempat-abad/amp
Kirnandita, P. (2019, 4 April). Quarter Life Crisis: Kehidupan Dewasa Datang, Krisis pun Menghadang. tirto.id. https://tirto.id/quarter-life-crisis-kehidupan-dewasa-datang-krisis-pun-menghadang-dkvU
Kiat Menghadapi Quarter Life Crisis. (2021). Diambil 15 September 2021, dari https://www.ugm.ac.id/id/berita/21247-kiat-menghadapi-quarter-life-crisis
Koenig, H. G., & Larson, D. B. (2001). International review of psychiatry, religion and mental health: Evidence for an association. International Review of Psychiatry, 13, 67–78. doi: 10.1080/09540260124661
Munsey, C. (2006). Emerging adults: The in-between age. American Psychological Association, 37(8), 68. Retrieved from https://maurers.org/Emerging_adults_The_in-between_age_workshop_edition.pdf
Memahami Quarter Life Crisis dan Cara Menghadapinya. (2021, 22 Maret). Alodokter. https://www.alodokter.com/memahami-quarter-life-crisis-dan-cara-menghadapinya
Menghadapi Quarter Life Crisis dengan Pandangan Psikologi Positif – Asisya Consulting. (2020, November 4). Assisya. https://asisyaconsulting.com/menghadapi-quarter-life-crisis-dengan-pandangan-psikologi-positif/
Peran Religiusitas terhadap Quarter-Life Crisis (QLC) pada Mahasiswa. Gadjah Mada Journal of Psychology (GamaJoP), 5(2), 129. https://doi.org/10.22146/gamajop.48948
Robbins, A., & Wilner, A. (2001). Quarterlife Crisis: The Unique Challenges of Life in Your Twenties (1st ed.). New York: J.P. Tarcher/Putnam.
Robinson, O. C. (2016). “Emerging adulthood, early adulthood and quarter-life crisis: updating Erikson for the twenty-first century,” in Emerging Adulthood in a European Context, ed. R. Žukauskiene, (New York, NY: Routledge), 17–30.
Robinson, O. C. (2018). A Longitudinal Mixed-Methods Case Study of Quarter-Life Crisis During the Post-university Transition: Locked-Out and Locked-In Forms in Combination. Emerging Adulthood, 7(3), 167–179. https://doi.org/10.1177/2167696818764144
Rahardjo, W., Qomariyah, N., Mulyani, I., & Andriani, I. (2020). Social media fatigue pada mahasiswa di masa pandemi COVID-19: Peran neurotisisme, kelebihan informasi, invasion of life, kecemasan, dan jenis kelamin. Jurnal Psikologi Sosial, 19(2), 142-152. https://doi.org/10.7454/jps.2021.16
Susanto, D. (2014). Perbedaan sosial media dan jejaring sosial. Merdeka. dari https://www.merdeka.com/teknologi/perbedaan-sosial-media-dan-jejaring-sosial.html
Sering galau? Mungkin kamu sedang dalam fase Quarter Life Crisis. (n.d.). Kejarmimpi. Diambil September 4, 2021, dari https://www.kejarmimpi.id/sering-galau-mungkin-kamu-sedang-dalam-fase-quarter-life-crisis-59.html
Seligman, Authentic Happiness, New Work Press, 2002
Seligman, Positive psychology and positive prevention, and positive therapy in C.R. Snyder (Ed.), handbook of positive psychology. New Work: Oxford University,2002
The Fase Galau Masa Muda. (n.d.). Youlead. Diambil 13 September, 2021, dari https://youlead.id/2020/12/the-fase-galau-masa-muda/
Understanding The Quarter-life Crisis. Diambil 14 September 2021, dari https://onlinedegrees.bradley.edu/blog/understanding-the-quarter-life-crisis/
UNAIR News. (2019, 19 September). Menghadapi Berbagai Tekanan di Usia 20-an. http://news.unair.ac.id/2019/09/18/menghadapi-berbagai-tekanan-di-usia-20-an /
Wahyuni, N. (2014). Focus Group Discussion. Diambil 14 September 2021, dari https://qmc.binus.ac.id/2014/08/28/focus-group-discussion/
Wayan Suriastini, Bondan Sikoki Dan Lis Ono. (2020). Gangguan Kesehatan Mental Meningkat Tajam : Sebuah Panggilan Meluaskan Layanan Kesehatan Jiwa. Gangguan Kesehatan Mental Meningkat Tajam : Sebuah Panggilan Meluaskan Layanan Kesehatan Jiwa, 1–4. https://drive.google.com/file/d/1ZW-1Qp8lUH78RcYfs3tqf4VlV1X16gNK/view