Media Parahyangan

Menulis Untuk Indonesia

[OPINI] Malapetaka Upaya Anti-Korupsi di bawah Masa Pemerintahan Joko Widodo

4 min read

Oleh: Vincentia Jyalita

Kehadiran KPK pasca-reformasi dinilai membawa angin segar untuk upaya anti-korupsi di mana sebelumnya pada masa Orde Baru, praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) nyaris sama sekali tidak diadili. Selain itu, KPK juga dianggap sebagai bagian dari pelaksanaan good governance dan sistem demokrasi di Indonesia di mana akuntabilitas seorang pemimpin patut dijamin. Akan tetapi, kembalinya persoalan pelemahan KPK melalui Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang berakhir pada pemecatan 51 pegawai KPK yang dinilai berintegritas merupakan afirmasi ulang bahwa upaya anti-korupsi di Indonesia selama ini mengalami sepak terjang yang tidak mudah.

Semenjak KPK dibentuk ia seperti anak buangan yang tidak diinginkan oleh para elit yang berkuasa dan hal ini tampak dalam upaya-upaya pelemahan KPK dari rezim ke rezim. Saat KPK dibentuk di bawah pemerintahan Presiden ke-lima, ada dugaan KPK lahir di tengah konflik antar elit. Beberapa pihak mensinyalir bahwa KPK ditujukan untuk menggantikan Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN) yang hendak menyelidiki aset-aset keluarga Presiden ke-lima saat itu. Begitu muncul pun, KPK terbukti terus dihalang-halangi ketika ingin menyelidiki figur-figur atas seperti Presiden dan keluarga-keluarganya

Lalu selama masa pemerintahan Presiden ke-enam, terdapat juga upaya pelemahan terhadap KPK meskipun akhirnya belum berhasil melumpuhkan KPK secara total. Pada saat itu muncul wacana revisi UU KPK dan juga terdapat kriminalisasi terhadap penyidik KPK, Antasari, yang sedang menangani kasus Aulia Pohan yang memiliki hubungan keluarga dengan Presiden ke-enam. Untungnya di masa yang sama, Presiden ke-enam Indonesia lebih fokus dalam menjaga stabilitas politik dan menyusun selfimage sebagai pemimpin yang menjaga konsolidasi demokrasi di Indonesia.

Kemudian, pelemahan KPK baru mencapai klimaks pada masa pemerintahan Joko Widodo. Pada tahun 2015, ada upaya dari beberapa partai untuk memasukkan revisi UU KPK dalam program legislasi nasional (prolegnas) yang baru berhasil disahkan pada tahun 2019 melalui UU No 19 Tahun 2019 mengenai Perubahan UU KPK. Isi dari pasal tersebut dinilai mengurangi independensi KPK seperti penempatan KPK di bawah kuasa Presiden, peralihan status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN), dan keberadaan Dewan Pengawas. Pelemahan KPK pun tidak berhenti di situ dengan munculnya persoalan tes TWK akhir-akhir ini. Sayangnya, Presiden Joko Widodo sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tak kunjung mencegah pelemahan KPK tersebut dengan aksi nyata.

Pengebirian KPK yang terjadi begitu sistematis dan frontal pada masa pemerintahan Joko Widodo sebetulnya menimbulkan pertanyaan yang menarik yaitu, mengapa pelemahan KPK baru mencapai klimaks sekarang? Menurut saya kurang lebih ada tiga hal yang mungkin menjawab pertanyaan tersebut. Pertama, sistem demokrasi yang bersifat prosedural di Indonesia terlalu lemah untuk mengendalikan elit pemangsa/oligarki yang mempertahankan kekayaan dan kekuasaan mereka dengan mempengaruhi kebijakan publik baik secara langsung (memegang posisi-posisi strategis dalam parlemen) maupun tidak langsung (mempengaruhi dari luar parlemen). Para elit pemangsa ini memanfaatkan batas yang kabur antara politik dan bisnis yang masih bertahan dan dirawat pasca-reformasi. Bukti bahwa sistem demokrasi kita rentan terhadap konflik kepentingan dapat dilihat dari komposisi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang saat ini memiliki 55% anggota dari kalangan pebisnis di dalam komisi yang berhubungan dengan tipe perusahaan mereka atau perusahaan keluarga inti mereka. Lebih mirisnya lagi, mudahnya pengesahan UU kontroversial seperti UU KPK, UU Minerba, dan Omnibus Law di tengah lemahnya oposisi politik menunjukkan bahwa para elit pemangsa ini berhasil berkonsolidasi.

Kedua, respons yang bersifat represif dari pemerintah efektif dalam membubarkan massa yang menentang pelemahan KPK. Respons yang bersifat represif ini biasanya dijustifikasi dengan mekanisme legal dan dilakukan melalui perantara lembaga lain seperti lembaga pendidikan dan lembaga kepolisian. Sebagai contohnya, gerakan #ReformasiDikorupsi di tahun 2019 berakhir dengan pembubaran, penahanan, dan bahkan penggunaan ancaman dan kekerasan dalam pembubaran dari pihak kepolisian, meskipun beberapa aksi dilaksanakan secara damai. Di tahun yang sama, perguruan tinggi juga menjadi sarana pemerintah untuk mencegah aksi-aksi demonstrasi seperti dengan Surat Edaran Larangan Demonstrasi 2019 oleh Mendikbud dan kesepakatan para pimpinan kampus dari Forum Rektor Indonesia untuk melarang mahasiswa berdemonstrasi usai audiensi dengan Presiden Joko Widodo.

Ketiga, masih ada fragmentasi dalam masyarakat sipil yang menghambat perlawanan terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan kepentingan publik. Fragmentasi dalam masyarakat sipil tampak dari munculnya tiga kelompok yaitu kelompok mendukung pelemahan KPK berdasarkan narasi bahwa ada taliban di dalam KPK, kelompok yang mengkritisi dan melawan pelemahan KPK, dan kelompok yang tidak peka terhadap isu sosial dan politik. Selain dari fragmentasi dalam masyarakat sipil, gerakan oleh kelompok yang kontra dengan pelemahan KPK pun masih dikritisi karena cenderung sporadis, reaksioner, dan tidak memiliki agenda demokratisasi yang berjangka panjang.

Sekarang apa bahayanya apabila upaya anti-korupsi di Indonesia dibiarkan berhenti dengan pelemahan KPK di tengah rawannya lembaga pemerintah lainnya seperti kejaksaan dan kepolisian terhadap praktik-praktik KKN? Selain dari dampak nyata dan jelas seperti kerugian uang negara dan semakin luasnya kesenjangan sosial dan angka kemiskinan, hal tersebut juga berpotensi mengikis sistem demokrasi di Indonesia dengan nihilnya mekanisme pencegahan penyelewengan sumber daya material negara yang efektif.

Akhir kata dari saya, situasi ini mendesak masyarakat untuk mulai waspada terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang sebenarnya bercorak otoriter dibalik watak demokrasi. Pelemahan sistem demokrasi nyatanya tidak senantiasa menggunakan gaya kekerasan tetapi dapat dilakukan lewat mekanisme legal. Maka, dalam menghadapi upaya pelemahan demokrasi dan mewujudkan demokratisasi Indonesia secara mendalam, masyarakat sudah saatnya bertransformasi dengan merancang playbook baru.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *