Diskusi Kudeta Demokrat PUSIK Parahyangan: Siapa yang Diuntungkan?
6 min read

LIPUTAN KAMPUS, MP-Pada 12 Maret 2021, PUSIK Parahyangan mengadakan diskusi publik yang bertemakan “Kudeta Demokrat: Otoritarianisme Pemerintah?” Diskusi ini dimoderatori oleh Rayasyah Fajar (PUSIK) dan dihadiri oleh tiga pemantik utama: Marcus Mietzner dari Australian National University (ANU), Thomas Power dari University of Sydney, dan Khoirunnisa Agustyati, Direktur Eksekutif Perludem. Sesuai dengan temanya, diskusi ini mengusung topik upaya kudeta Partai Demokrat (PD) yang dilakukan oleh Moeldoko, Kepala Staf Kepresidenan Jokowi.
Sulitnya Bergerak Secara Politik di Indonesia
Diskusi dimulai dengan pemaparan materi dari Khoirunnisa Agustyati, Direktur Eksekutif Perludem, yang akrab dipanggil Ninis. Ia menjelaskan bagaimana sistem pemerintahan dan syarat hukum di Indonesia mempersulit berjalannya fungsi partai. Fungsi partai politik dibagi oleh Ninis menjadi 3: party in electorate, party in government dan party in organization. Pelaksanaan fungsi ini dalam sistem pemerintah presidensialisme yang multipartai sulit diwujudkan secara ideal ketika bagian eksekutif harus membagi kekuasaannya dengan semua partai harus berkoalisi, bahkan oposisi. Koalisi yang terbentuk lantas juga tidak berdasarkan ideologi, namun bersandar pada kepentingan yang ada. Ini diperkuat dengan desain pemilu yang kurang memberikan insentif koalisi ideologi atau programatik. Karena koalisi yang muncul berdasarkan kepentingan partai, fungsi check and balance antar pihak menjadi tidak jalan.
Dari segi hukum, hak untuk mendirikan parpol dijamin dan difasilitasi melalui Pasal 28 UUD 1945, tetapi hal ini masih perlu dipertanyakan. Regulasi mempersulit pelaksanaan fungsi partai karena fokus utama partai adalah bertahan hingga pemilu, bukannya mengkontestasikan ideologi. Ruang dan akses yang setara bagi partai politik juga belum tercapai, terlihat dari sulitnya partai baru untuk masuk ke bursa politik dan menjadi penyeimbang pemerintah. Beberapa persyaratan yang diberlakukan mengurangi kesempatan bagi parpol kecil untuk berpartisipasi dalam pemilu. Bahkan, biaya operasional partai menjadi bagian permasalahan dari regulasi peserta pemilu. Akibatnya, pemilu hanya menjadi, atau setidaknya dianggap, kegiatan prosedural–bukan media reward and punishment–dan partisipan pemilu juga tidak diukur secara kualitatif melainkan kuantitatif. Aktivitas partai politik juga bisa dikatakan tidak konstan, tetapi muncul hanya saat masa pemilu atau jika berkaitan dengan pemilu.
Ninis menyebutkan bahwa apa yang terjadi di PD bukan kejadian pertama maupun kejadian yang eksklusif di PD. Ini mencerminkan masalah-masalah yang dialami partai-partai politik di Indonesia, mulai dari pemilihan ketua umum parpol, sentralisme pencalonan, perselisihan internal, dan pendanaan parpol. Khususnya dalam kasus PD, intervensi dari luar yang ‘mengacak-acak’ fungsi internal pertai menjadi keterangan baru dalam daftar permasalahan PD. Kehebohan yang timbul dari kasus ini juga dapat dikaitkan dengan keterlibatan langsung orang dari istana.
Upaya untuk menyelesaikan masalah ini melalui jalur pengadilan juga bukan pilihan utama, tetapi pilihan terakhir apabila mekanisme internal partai yang sah tidak bisa menyelesaikan perselisihan. Berdasarkan UU Patai Politik, sengketa internal dilakukan melalui Mahkamah Partai sebagai mekanisme awal penyelesaian dalam jangka waktu 60 hari. Hanya dalam situasi ketika upaya mekanisme internal seperti rekonsiliasi, mediasi, atau arbitrase tidak berhasil, maka sengketa bisa dibawa ke jalur pengadilan negeri. Namun, menurut Ninis, mekanisme ini belum sepenuhnya dilaksanakan di internal PD.
Bila fenomena dan masalah yang sudah ada dilihat dari gambaran besarnya, terlihat dinamika partai politik di Indonesia. Ninis mengatakan bahwa gerakan akar rumput (grassroot) yang disederhanakan dan deideologi partai saat masa Orde Baru menciptakan gerakan multipartai yang sarat dengan konflik internal namun kurang beragam ideologinya di masa Reformasi. Berdasarkan pemaparan ini, Ninis memberikan lima rekomendasi langkah untuk memperbaiki politik Indonesia.
- Demokratisasi internal partai politik dengan revisi Undang-Undang Partai Politik
- Transparansi keuangan partai politik
- Melanjutkan reformasi pemilu untuk menghapus tendensi rainbow coalition
- Jaminan interdependensi penyelenggaraan pemilu
- Penguatan konsolidasi masyarakat sipil
Membentuk Koalisi Untuk Agenda Siapa?
Marcus Mietzner, peneliti dari Australian National University (ANU), menjelaskan dinamika politik di Indonesia dan pertanyaan penting yang perlu diajukan ketika membahas soal kudeta Demokrat. Dimulai dengan Jokowi sebagai minoritas dalam dunia politik, pergeseran ketum Golkar dan PPP dalam pemilu 2014 membawa Jokowi ke kelas atas perpolitikan Indonesia. Peningkatan ini terlihat dalam pendukung Jokowi di kursi DPR yang awalnya mencapai hanya 37% pada tahun 2014, namun sekarang berhasil menciptakan super-majority sebesar 82%. Tetapi koalisi dan kartel menurut Mietzner patut dipertanyakan. Koalisi gemuk yang mendukung Jokowi, menurut Mietzner, terbentuk antara kesukarelaan (PAN) atau paksaan dari lembaga eksekutif pemerintah (Golkar, PPP, dan PD). Rentan bagi pihak eksekutif untuk memanipulasi dan menyalahgunakan legitimasi kekuasaannya dengan mengganti pemimpin umum partai politik agar partai tersebut mendukung pemerintah.
Mietzner memberikan penjelasan yang mungkin mengenai fenomena kudeta demokrat, “Entah presiden tahu namun tidak menanggapi atau presiden tidak tahu dan tidak melakukan intervensi?” Pada akhirnya, kesimpulan yang bisa ditarik sementara waktu oleh pengamat luar hanyalah bahwa Jokowi bukan penggagas ide intervensi, walaupun ia menikmati hasilnya. Tetapi, seperti Ninis, Mietzner mengatakan bahwa fenomena kudeta ini bukanlah hal yang baru sebenarnya. Pada Kongres Partai Demokrat di Surabaya pada tahun 2015, muncul kabar bahwa pemerintah ingin mengganti kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono di Partai Demokrat. Saat itu, pergantian pemimpun umum gagal karena desakan dari Ruhut Sitompul, politikus PD, yang memastikan bahwa Jokowi harus hadir di kongres PD. Dengan hadirnya Jokowi di kongres tersebut, legitimasi isi kongres oleh SBY berhasil diperoleh dan PD pun batal “di-Golkar-kan”.
Mietzner berpendapat bahwa pemerintah seharusnya tidak diberikan kewenangan untuk intervensi dan penentuan pemimpin legal di partai politik karena potensi penyalahgunaan demi agenda tersendiri. Dilihat dari yang terjadi sekarang dengan PD, Mietzner merasa bahwa upaya menjadikan PD bagian dari koalisi pemerintah yang sudah gemuk dan mayoritas mau tidak mau menimbulkan spekulasi tentang agenda-agenda yang dimiliki pemerintah, seperti tiga periode kepresidenan dan perolehan hampir semua suara untuk melanggengkan amandemen konstitusi. Walaupun agenda ini masih spekulasi dan belum dinyatakan secara resmi, Mietzner menekankan bahwa publik ‘jangan terlalu naif sama janji presiden’ dan perlu dicari alasan yang jelas mengapa pemerintah bagain eksekutif harus mengganggu PD.
Spekulasi Kepentingan di Balik Kudeta
Pemaparan materi ditutup oleh Thomas Power, peneliti dari University of Sydney, yang menjabarkan skenario-skenario yang mungkin terjadi seputar kudeta Demokrat. Mulai dari penyebab kudeta itu sendiri, Power merasa bahwa pendirian PD sarat dengan pengaruh patronase internal partai, yang kemudian bergantung pada akses roda pemerintahan untuk memperoleh bantuan keuangan serta dukungan eksekutif. Alasan logistik dan keuangan partai tidak bisa dikatakan cukup untuk menjelaskan upaya kudeta oleh Moeldoko; ini ditambah lagi dengan fakta bahwa Moeldoko menerima sedikit dukungan dari politisi PD.
Jika dianalisis dari jejak pendirian partai politik di Indonesia, motivasi Moeldoko yang sementara ini bisa disimpulkan adalah sulitnya membuat partai baru. Popularitasnya yang minim di politik Indonesia, persyaratan lainnya dalam pembuatan parpol, nama Demokrat yang cukup besar, serta kursi di DPR menjadikan perebutan kekuasaan di PD sebagai langkah yang paling strategis.
Dalam skenario pemerintah melalui Moeldoko berhasil menguasai mayoritas kursi di DPR, tidak menutup kemungkinan bahwa capres dan cawapres di pemilu yang akan datang merupakan calon tunggal. Tentunya hal ini mengancam eksistensi demokrasi di Indonesia dan memungkinkan pengambilan langkah-langkah anti-demokratik lainnya. Hal seperti penghapusan konstitusi kemudian dengan mudah bisa dilakukan; Power mengatakan bahwa ekspektasi positif terhadap demokrasi Indonesia harus dikesampingkan. Pemerintah yang memiliki 100% kursi DPR akan menjadi kepemimpinan tunggal dan dominasi koalisi yang memiliki kepentingan sendiri menimbulkan potensi pengambilan langkah-langkah demokratik, sehingga bisa dikatakan bahwa demokrasi Indonesia sedang mengalami krisis.
Siapa yang Diuntungkan dalam Kudeta?
Sebagai tokoh utama dalam kudeta ini, tindakan Moeldoko patut dipertanyakan oleh publik. Tanggapan pemerintah yang mengesahkan tindakan Moeldoko sebagai ‘hak individu politik Moeldoko’ menimbulkan kesan bahwa pemerintah naif dalam menanggapi permasalahan stabilitas politik nasional. Jika Moeldoko tidak mendapatkan kekuasaan di PD, skenario alternatif lainnya adalah tercorengnya nama PD di pemilu 2024 oleh reputasi Moeldoko.
Tindakan pemerintah sendiri yang menggunakan instrumen hukum seperti UU Parpol dan AD/ART PD tahun 2020 untuk menilai hasil kongres juga bisa dipertanyakan. Perspektif politik, bukan perspektif implementasi hukum, perlu digunakan dalam melihat pola penyelesaian konflik internal partai oleh Kemenkumham yang berlaku hanya pada fraksi pendukung pemerintah (menilik kasus Golkar, PPP, dan Partai Berkarya) dan kudeta yang tetap berjalan saat pers dan PD mengawasi. Walau persepektif politik diperlukan, ini tidak menutup kemungkinan masyarakat sipil untuk memperkarakan isu ini ke Mahkamah Konstitusi (jalur hukum)
Di luar pemerintah dan Moeldoko, kontribusi media dan buzzer memberi dampak signifikan dalam isu kudeta. Media yang terlalu ramah dan intensitas buzzer di media sosial mempermudah penyebaran dan penerimaan narasi bahwa kudeta Demokrat adalah fenomena yang normal di perpolitikan Indonesia. Munculnya gagasan bahwa akan ada perbaikan dalam sistem pendanaan parpol agar parpol tidak tergantung pada donatur oligarki eksternal, melainkan dari peningkatan pendanaan publik, dan memandirikan parpol harus dikritisi. Usulan ini sulit direalisasikan karena pemerintah bisa mempersulit urusan administratif parpol dan sifatnya membatasi otonomi pengelolaan ekonomi internal partai.
Secara keseluruhan, kesehatan demokrasi Indonesia terancam dengan adanya gerakan kudeta Demokrat oleh pemerintah dan Moeldoko. Implikasi dampaknya tidak hanya mengenai PD, tetapi juga masyarakat sipil yang bisa mengalami represi dalam menanggapi dan mengkritik pemerintahan. Kecenderungan parpol Indonesia yang bergantung pada patronasi elit senior juga mempermudah regresi demokrasi. Inkonsistensi kritik terhadap dinasti politik juga harus diberantas, ‘jangan mengambil keuntungan politik dinasti namun menolak terjadinya politik dinasti tersebut setelah hal tersebut (keuntungan maupun politik dinasti) terjadi.’
Hanna Fernandus | PUSIK Parahyangan