[Opini] Masih Menunggu Keseriusan Pemerintah Mengurus Wabah
5 min read
Foto dari Tirto.id, Alinea.id, dan Media Parahyangan. Desain oleh Media Parahyangan.
OPINI, MP — Pada akhir Maret lalu, harapan publik akan hadirnya langkah pemerintah yang tepat untuk menangani Covid-19 beserta dampaknya mulai terlihat. Setelah dihujani berbagai kritik, Presiden Joko Widodo pada tanggal 26 Maret 2020 akhirnya menyatakan akan mengeluarkan stimulus ekonomi yang ditunjukkan untuk alat pengadaan kesehatan, jaringan sosial dan stimulus fiskal. Perppu No. 1 tahun 2020 pun dikeluarkan untuk melegitimasi ucapan tersebut.
Bagi publik yang sudah gerah melihat langkah gagap pemerintah pada dua pekan pertama merebaknya Covid-19, pernyataan tersebut mungkin menjadi sebuah kabar baik. Dapat terlihat momentum yang menjadi titik balik fokus penanganan pemerintah, mulai mengarah ke faktor keamanan manusia (human security, red.) dibandingkan kepentingan ‘stabilitas politik’ dan ‘stabilitas ekonomi’.
Namun, satu bulan setelah resmi diumumkannnya penyebaran pandemi global di Indonesia ini (14/4) dan dua minggu setelah ditetapkannya Perppu No. 1 tahun 2020, belum ada tindakan konkrit dari pemerintah pusat. Justru yang terjadi adalah masalah-masalah lanjutan serta inkonsistensi terhadap pelaksanaan janji-janji tersebut.
Hal tersebut dapat terlihat dari program kartu prakerja yang buru-buru dikeluarkan, PSBB yang sangat birokratis, miskoordinasi antara kementerian dan lembaga hingga langkah pemerintah yang mempertimbangkan darurat sipil sebagai langkah selanjutnya yang akan ditempuh.
Situasi ini menunjukan bahwa pemerintah tidak memiliki kesiapan dan keinginan politik untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang sudah dijanjikan pada akhir Maret lalu. Lebih lanjut hal ini kemudian membuktikan bahwa pemerintah masih jauh dari kata serius dalam menangani COVID-19 beserta dampaknya dan keselamatan masyarakat masih belum menjadi prioritas utama.
Dengan kata lain, kebijakan yang dijanjikan tersebut dikeluarkan hanya karena pemerintah berusaha mengeluarkan pernyataan-pernyataan populer di mata masyarakat demi memenangkan hati mereka kembali sekaligus mempertontonkan bahwa pemerintah ‘telah berusaha’ dan menutup-nutupi kesalahan yang saat ini mereka lakukan dikala melakukan penanganan dampak Covid-19.
Dengan tindakan-tindakan yang bersifat gimmick tersebut, apa yang menjadi sumber kekhawatiran pemerintah adalah hilangnya kepercayaan publik terhadap pemerintah yang sedang berjalan. Sehingga upaya yang dilakukan hanya sebatas pernyataan tanpa perencanaan, prosedur, dan justifikasi yang jelas. Tulisan singkat ini akan menunjukkan bukti ketidakseriusan pemerintah dalam program-program yang telah direncakannya.
Prakerja
yang buru-buru
Kartu prakerja merupakan salah satu dari sekian ‘politik kartu’ Jokowi yang ditargetkan untuk pemilih kalangan menengah kebawah dan yang tidak mengenyam pendidikan formal – yang mana merupakan mayoritas masyarakat Indonesia dan kontributor suara terbesar Jokowi-Ma’aruf Amin pada Pilpres 2019, menurut riset CSIS. Hal ini menjadikan prakerja sebagai salah satu kebijakan populis Jokowi.
Sifat populis membuat
kebijakan ini tidak rasional dan tidak disesuaikan dengan anggaran yang
tersedia. Bahkan, kebijakan ini disebut-sebut sebagai janji kampanye yang
membuat Sri Mulyani ‘sakit perut’[1] akibat tidak kalkulasi
kesesuaian dengan anggaran.
Karena sifatnya populis jugalah yang membuat kartu ini sebagai senjata ampuh untuk memenangkan kembali pemilih Jokowi. Pemerintah mengumumkan bahwa peluncuran kebijakan ini dipercepat, terutama setelah pemerintah tidak mampu mencegah sektor swasta untuk tidak melakukan pemecatan secara sepihak dan tidak mampu membayarkan jaminan sosial kepada mereka yang kehilangan pekerjaan.
Terburu-burunya
peluncuran kartu ini mengekspos ketidaksiapan pemerintah. Hal ini ditunjukkan
mulai dari perubahan jadwal peluncuran berkali-kali, bandwidth yang tidak mencukupi, pelaksanaan teknis yang tidak
realistis dan pemilihan mitra yang kontroversial.[2]
Salah satu yang paling menunjukan ketidaksiapan prakerja adalah metode yang dilaksanakan bersifat online, padahal target utamanya didominasi mereka yang tidak memiliki akses ke internet beserta infrastrukturnya dan mitra yang diajak bekerjasama memiliki pasar masyarakat muda menengah-keatas. Akibatknya adalah tidak ditemukan link and match dari pelaksanaan kebijakan tersebut.
PSBB
yang ‘sudah dilaksanakan’
Seiring dengan berkembangnya penderita Covid-19 di Indonesia, sejumlah kalangan menuntut pemerintah meningkatkan eskalasi keadaan dan memberlakukan lockdown menyusul negara-negara lainnya.
Pemerintah pun kemudian mengabulkan aspirasi tersebut, meskipun tidak memberlakukan lockdown secara penuh akibat ‘pertimbangan ekonomi’.
Pada 31 Maret lalu, Presiden Jokowi mengeluarkan aturan terkait Pembatasan Sosial Berskala Besar. Namun, aturan tersebut tidak menetapkan pemberlakukan PSBB, melainkan menetapkan prosedur penetapan yaitu melalui Menteri Kesehatan. Beberapa hari kemduian akhirnya Menkes mengeluarkan Pedoman PSBB. Namun, frasa penetepan PSBB masih absen dalam pedoman tersebut. Pemerintah daerah diminta untuk mengirimkan proposal PSBB untuk kemudian disetujui oleh Menkes.
Proses penetapan PSBB yang berbelit-belit tersebut menunjukan bahwa sebetulnya pemerintah masih enggan untuk menghentikan aktivitas sehari-hari untuk sementara. Pemerintah masih belum berani memberhentikan secara penuh aktivitas perekonomian dan bertanggungjawab atas PHK yang menimpa ribuan pekerja.
Selain itu, PSBB ini juga
tidak ada bedanya dengan kondisi di beberapa kota yang sudah menerapkan Kondisi
Luar Biasa (KLB) dan menutup berbagai fasilitas. Hal ini semakin menunjukan
bahwa peningkatan eskalasi yang dilakukan pemerintah semata-mata menjaga
citranya dihadapan publik dan menunjukan kehadiran pemerintah dalam
menyelesaikan masalah ini.
Miskoordinasi
Kemenhub-Kemenkes
Salah satu yang membuat kebijakan PSBB terkendala adalah Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 18 tahun 2020 yang masih memperbolehkan kendaraan bermotor, terutama ojek online untuk menerima penumpang. Hal ini bertentangan dengan Permenkes No.9 tahun 2020 yang melarang penggunaan ojol. Selain itu, perihal diperbolehkannya mudik juga menjadi perdebatan kedua institusi ini.
Pada akhirnya, kebijakan yang menang adalah kebijakan Kementerian Perhubungan yang memperbolehkan ojol untuk tetap beroperasi dan mudik boleh berlangsung. Faktor ini mengakibatkan PSBB masih sama selayaknya hari-hari sebelumnya.
Hal ini kemudian
menunjukan bahwa situasi krisis tidak mampu menghilangkan kepentingan antar
lembaga. Pemerintah disini masih terjebak antara kepentingan masyarakat atau
kepentingan ekonomi dalam menentukan sebuah kebijakan yang tepat. Tidak adanya
kepemimpinan Presiden dalam kasus ini pun membuktikan bahwa perihal PSBB,
memang bukan prioritas pemerintah sehingga harus dipersiapkan secara matang.
Bagi-bagi
sembako
Dalam beberapa hari
terakhir, media sosial diramaikan oleh berbagai pihak yang memberikan bantuan
material kepada warga-warga yang membutuhkan. Tidak terkecuali juga Presiden
Jokowi yang membagi-bagikan sembako kepada ojol melalui limousine dan bantuan beras dengan cap “Sumbangan Presiden”.
Pemerintah bahkan mengadakan pembagian sembako secara massal di Istana Bogor
pada Jumat pekan lalu.
Terlepas dari
kedermawanan Presiden kita, langkah tersebut justru layak dipertanyakan. Disaat
rakyat membutuhkan kepala negara untuk membuat keputusan dan langkah-langkah
sifatnya struktural, mengapa yang dilakukan justru hal-hal yang bersifat minor
dan dapat dilakukan oleh siapa pun?
Terlebih lagi, tindakan yang dilakukan Presiden justru bertolak belakang dengan himbauan PSBB tidak memperbolehkan aktivitas orang dalam jumlah banyak dan berdekatan.
Menunggu Keseriusan Pemerintah Menangani Wabah
Melalui tindakan-tindakan
yang telah dijelaskan diatas, terlihat bahwa pemerintah masih belum serius
dalam menanggapi Covid-19 beserta dampak-dampaknya. Justru semakin terekspos
sikap pemerintah yang belum dapat menentukan prioritas serta konflik
kepentingan antar lembaga yang mewarnai pelaksanaan kebijakan.
Keseriusan pemerintah
saat ini hanya ada pada usaha untuk menunjukan bahwa pemerintah masih ada,
kehadiran pemerintah dalam penanganan kasus ini, meningkatkan kembali
kepercayaan publik dan menunjukan bahwa pemerintah dapat diandalkan. Sehingga
cara-cara yang dilakukan adalah dengan membuat pernyataan-pernyataan yang
memberikan harapan, membuat program-program tanpa perencanaan yang matang.
Penulis: Miftahul Choir, anggota Pusat Studi Ilmu Kemasyarakatan Parahyangan
[1] https://money.kompas.com/read/2020/02/02/105615626/ini-janji-jokowi-yang-bikin-sri-mulyani-sampai-sakit-perut
[2] https://tirto.id/program-jaring-pengaman-sosial-jokowi-cuma-gimik-di-tengah-covid-19-eLNr